Perempuan Batak, terutama yang telah berkeluarga, peranannya begitu sentral dalam kehidupan rumah tangga. Itu makanya banyak sebutan yang disematkan pada mereka.
Seperti “paniaran, soripada, tunggane boru, pangintubu (mitra seorang suami, istri yang melahirkan keturunan), atau “parsonduk bolon, sitiop puro, sisuhat sidabuan” (pemegang peran tata kelolah keuangan keluarga).
Ada lagi sebutan lainnya yaitu “inanta, pardijabu” (ibu pengasuh dan mengaturkan semua hal yang ada dalam rumah).
Sebagai mitra suami dalam banyak hal, perempuan Batak begitu terhormat. Sebagai perempuan, dia sangat dibutuhkan untuk melahirkan (reproduksi) penerus silsilah keluarga (tarombo).
Dalam perannya sebagai ibu rumah tangga, dia adalah pengelola keuangan keluarga, seperti mengatur dapur, kebutuhan anak, kebutuhan adat dan lain sebagainya.
Sebagai ibu, dia berperan untuk merawat kesehatan anak, gizi anak, perkembangan kejiwaan anak, pendidikan anak dan kebutuhan lainnya dalam rumah tangga.
Melihat peran perempuan dalam adat dan keluarga, adakalanya seorang ibu dalam adat Batak disebut parbatu ni rumah (batu landasan tempat duduk tiang rumah), atau mungkin dalam bahasa Indonesia disebut Ibu adalah ‘tiang negara’.
Sebab ibu begitu kompleks peran dan tanggungjawabnya untuk menjaga kehidupan keluarga serta merawat harmoni dan mempersiapkan anaknya menyongsong masa depan yang lebih baik sebagai generasi penerus tarombo.
Maka tidak heran jika kita melihat perempuan Batak yang sudah punya anak “seperti tidak peduli” lagi pada pribadinya sendiri, demi menghidupi dan kemajuan anak-anaknya.
Kenapa bisa demikian?
Segala waktu, pikiran dan tenaganya semua tercurah untuk keluarga dan anaknya, sehingga dia kadangkala lupa akan kodratnya sebagai perempuan yang lebih lemah daripada pria. Kegigihan perempuan Batak memperjuangkan anak dan keluarganya kadangkala melebihi kodaratnya sebagai perempuan.
Lihatlah di desa juga di perkotaan, banyak perempuan Batak yang berjuang habis-habisan dengan segala daya dan tenaga serta semua pikiran walau harus membuang jauh gengsi dan sifat kewanitaannya yang lemah lembut. Bekerja apa saja asal halal agar dapat menghidupi anak dan memperjuangkan masa depan anaknya.
Maka sudah jamak kita lihat di perkotaan, perempuan Batak, bekerja sebagai kuli bangunan, pemulung dengan menarik beca (parbotot), mengumpulkan nasi busuk “parnasbus/parnab” untuk makanan ternak di pembuangan sampah, dan pekerjaan lain yang tidak lazim dilakukan perempuan.
Semua itu dalam menopang kehidupan dan kemajuan anaknya “anakhonki do hamoraon di ahu”. Hal ini terjadi karena perempuan Batak tidak mau berpangkuh tangan membiarkan hanya suaminya melakukan tanggungjawab ekonomi, sosial dan pendidikan anaknya.
Perempuan Batak muncul berdiri saling membahu dengan suami agar keturunan mereka bisa lebih baik dan mengangkat martabat keluarga “panangkok goar ni natorasna”.
Mirisnya, kondisi ini adakalanya diperparah adanya sikap pria Batak (walaupun sangat sedikit sekali) yang sangat bertolak belakang dengan posisinya sebagai “ama, tungane doli = bapak, mitra istri”. Dia hanya berperan sebagai “parsinuan dan uluan = alat reproduksi dan pimpinan” tidak lagi bisa sebagai panggonggomi = pengayom keluarga.
Akibatnya, istrilah yang maju ke depan mengambil alih dan memegang posisi sentral serta yang paling bertanggungjawab pada kehidupan keluarga. Luar biasa kau inang…
Seperti “paniaran, soripada, tunggane boru, pangintubu (mitra seorang suami, istri yang melahirkan keturunan), atau “parsonduk bolon, sitiop puro, sisuhat sidabuan” (pemegang peran tata kelolah keuangan keluarga).
Ada lagi sebutan lainnya yaitu “inanta, pardijabu” (ibu pengasuh dan mengaturkan semua hal yang ada dalam rumah).
Sebagai mitra suami dalam banyak hal, perempuan Batak begitu terhormat. Sebagai perempuan, dia sangat dibutuhkan untuk melahirkan (reproduksi) penerus silsilah keluarga (tarombo).
Dalam perannya sebagai ibu rumah tangga, dia adalah pengelola keuangan keluarga, seperti mengatur dapur, kebutuhan anak, kebutuhan adat dan lain sebagainya.
Sebagai ibu, dia berperan untuk merawat kesehatan anak, gizi anak, perkembangan kejiwaan anak, pendidikan anak dan kebutuhan lainnya dalam rumah tangga.
Melihat peran perempuan dalam adat dan keluarga, adakalanya seorang ibu dalam adat Batak disebut parbatu ni rumah (batu landasan tempat duduk tiang rumah), atau mungkin dalam bahasa Indonesia disebut Ibu adalah ‘tiang negara’.
Sebab ibu begitu kompleks peran dan tanggungjawabnya untuk menjaga kehidupan keluarga serta merawat harmoni dan mempersiapkan anaknya menyongsong masa depan yang lebih baik sebagai generasi penerus tarombo.
Maka tidak heran jika kita melihat perempuan Batak yang sudah punya anak “seperti tidak peduli” lagi pada pribadinya sendiri, demi menghidupi dan kemajuan anak-anaknya.
Kenapa bisa demikian?
Segala waktu, pikiran dan tenaganya semua tercurah untuk keluarga dan anaknya, sehingga dia kadangkala lupa akan kodratnya sebagai perempuan yang lebih lemah daripada pria. Kegigihan perempuan Batak memperjuangkan anak dan keluarganya kadangkala melebihi kodaratnya sebagai perempuan.
Lihatlah di desa juga di perkotaan, banyak perempuan Batak yang berjuang habis-habisan dengan segala daya dan tenaga serta semua pikiran walau harus membuang jauh gengsi dan sifat kewanitaannya yang lemah lembut. Bekerja apa saja asal halal agar dapat menghidupi anak dan memperjuangkan masa depan anaknya.
Maka sudah jamak kita lihat di perkotaan, perempuan Batak, bekerja sebagai kuli bangunan, pemulung dengan menarik beca (parbotot), mengumpulkan nasi busuk “parnasbus/parnab” untuk makanan ternak di pembuangan sampah, dan pekerjaan lain yang tidak lazim dilakukan perempuan.
Semua itu dalam menopang kehidupan dan kemajuan anaknya “anakhonki do hamoraon di ahu”. Hal ini terjadi karena perempuan Batak tidak mau berpangkuh tangan membiarkan hanya suaminya melakukan tanggungjawab ekonomi, sosial dan pendidikan anaknya.
Perempuan Batak muncul berdiri saling membahu dengan suami agar keturunan mereka bisa lebih baik dan mengangkat martabat keluarga “panangkok goar ni natorasna”.
Mirisnya, kondisi ini adakalanya diperparah adanya sikap pria Batak (walaupun sangat sedikit sekali) yang sangat bertolak belakang dengan posisinya sebagai “ama, tungane doli = bapak, mitra istri”. Dia hanya berperan sebagai “parsinuan dan uluan = alat reproduksi dan pimpinan” tidak lagi bisa sebagai panggonggomi = pengayom keluarga.
Akibatnya, istrilah yang maju ke depan mengambil alih dan memegang posisi sentral serta yang paling bertanggungjawab pada kehidupan keluarga. Luar biasa kau inang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar